CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BOHAY

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BOHAY


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BOHAY, Hasrat-Bispak32 Seluruh orang didalamnya harus berusaha dan berkorban supaya tak tergusur, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang gak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya tidak hanya itu. Denok pun mempunyai arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Periode kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda merupakan seseorang penari, dan kerap ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang lantaran edan judi, serta beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang berduka karena Bapak telah tidak ada, tetapi juga kebingungan karena beberapa waktu sesudah Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil agen judi yang memberinya hutang terhadap Bapak. Kami tidak miliki daerah tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, tandingan sangat banyak. Selanjutnya sehabis lumayan lama mengamati beragam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk manfaatkan ketrampilan kami. Hanya modal baju serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun awal kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat peroleh sekian lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak mudah pun cari uang melalui langkah semacam ini, paling-paling yang kami temukan hanya buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Dan tidak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang siap bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati seringkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun misalkan dengan diselinapkan ke baju kami. Apa saya dan Simbok benar-benar merayu? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu terus mengajarkan dan mengingati saya buat menjaga badan kendati dengan langkah simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pun sich jika di katakan saya montok. Gak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus was-was dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  kuat lantaran dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua omong saya elok. Saya pikirkan, ini sih pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat lebih tebal. Bibir  diberi gincu warna merah oke. Saya masa itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa pun memanfaatkan dandanan semacam itu, justru saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, nanti kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, malapetaka ada kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya was-was, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak  Simbok telah tidak ada angan-angan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau gak, saya tidak ingin tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penguburan, jadi harus berutang kemanapun. Saya gak sanggup menyelenggarakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja lantaran terlampau bersusah-hati. Kemungkinan setiap hari saya menangis, berduka ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis serta saya  harus temui banyak tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kesusahan saya . Sehingga, satu minggu sehabis Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya justru bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat omong maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ujarnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya halangan untuk saya. Saya ingin usaha dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BOHAY

Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, dan setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana tekniknya agar kelak jika pulang sudah memiliki cukup uang buat bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu sekedar mengenal beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya kesal namun tidak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tidak ingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tidak dapat cukup uang ini hari untuk membayar sewaan. Jika berjualan, saya nggak mempunyai apapun, harus jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Jika kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, tetapi apa harus secara semacam ini? Tetapi kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak punyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Bila saja gak ketutupan bedak, kemungkinan telah nampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi sesekali saya ngintip ke sana-kemari memandang situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang tunjukkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih sangsi. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Jika tak mau ya udah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki terang-terangan ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat memperoleh uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sekitar itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Sebab barangkali barusan saya malu dan lamban satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan membeberkan kain batik saya. Saya langsung mundur, namun tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan pun menggenggam paha saya yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya semakin deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun gak tahu mengapa, saya pula kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Mari donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama